December 22, 2004
Tentang Perasaan Lama
Duduk diam, hanya ditemani secangkir kopi dan sebuah buku di pinggir jendela lantai 4, aku termenung. Hujan dan lalu lalang pelayan pun tidak bisa mengganggu soreku hari itu. Mencoba menggali lagi beberapa lembar cerita lama dalam buku kehidupanku beberapa bab kebelakang. Seribu bayangan mecoba mendesak keluar meminta giliran untuk ditampilkan di secuil projector ingatan yang muncul hari itu.
Dulu, ditempat itu, pertama kalinya kita berbicara panjang dan penuh arti. Pembicaraan yang jika ditimbang dengan timbangan perasaan dan timbangan hati, sepertinya bisa dijual mahal. Beberapa hari sebelum hari itu, kembali aku melewati tempat dimana biasanya kita bertukar isi otak, isi hati dan isi jiwa. Kadang pembicaraan kita seperti snack murahan yang dijual di warung-warung kecil, ringan dan, yah…murah! Tapi kadang pembicaraan itu berlanjut menuju topic yang hanya di bicarakan oleh pembesar-pembesar negara, berat dan memusingkan!
Betapa aku ingin menarik dan meletakkan semua kenangan itu kembali ke awal halaman penulisan otak dan hatiku sekarang. Tetapi sepertinya hatimu berat sekali sekarang, tidak lagi bisa menampung ceritaku meskipun hanya sepersejuta persen dari beban otakmu.
“Jangan berharap banyak sama gue!”
Kata-kata itu terus yang keluar dari sudut bibirmu. Harapan apakah yang selama ini kamu larang untuk kuterbitkan? Harapan seperti apakah yang dinyatakan forbidden untuk dilewati? Harapan seperti apakah yang harus disuntik mati seperti pesakitan? Coba terangkan semua dalam silabus kita hari ini!
Harapan adalah bagian dari hidup, tanpa harapan, kehidupan sama artinya seperti zombie yang berjalan tanpa nyawa. Harapan bisa mewujudkan kenyataan, walau kadang kenyataan menghambat harapan (hmm….sepertinya kudapatkan kata2 ini dari seseorang!). Aku mengharapkan hari ini bisa makan ice cream coklat kesukaanku, tapi kenyataannya aku tak cukup mampu untuk membelinya. Dengan harapan, aku pasti akan berusaha untuk mewujudkan harapanku yang sepertinya lezat itu!, kenyataannya, harapanku sedikit terhambat, tapi aku harus berusaha karena harapan-harapan itu terus terngiang di kepalaku. Walau akhirnya aku tidak bisa mewujudkan harapanku itu, apakah aku kemudian menjadi hancur? Kecewa mungkin iya, tetapi sebelum aku berharap, aku sudah memanjatkan doa, bahwa resiko yang akan kuhadapi dengan menciptakan harapan itu tidak akan terlalu menyakitkan.
Kesadaran akan resiko, kesadaran akan adanya hambatan, kesadaran akan adanya jatuh dan bangun, membuatku berani untuk berharap.
Jangan hambat harapanku padamu. Jangan matikan semua dan jangan jauhkan itu dariku. Karena hanya itu yang kupunya sekarang darimu.
Dulu, hatimu selalu lembut, layaknya seorang sahabat yang merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambut dan memelukku dengan lembut dan dengan cinta. Sekarang, hatimu tertutup oleh sepuluh kali lipat tinggi tembok cina yang terbentang,
Ingin rasanya kupanggilkan cenayang untuk membangkitkan rasa yang sudah mati dan hilang dari hatimu.
Duduk termenung, menikmati turunnya hujan dari langit, menciptakan kembali percikan-percikan kenangan yang sudah lama kusimpan.
Sempat kubaca habis buku yang berjudul: “Subject: Re”, ingin rasanya kuteriakkan dan kuceritakan kembali padamu: “Ceritanya GUE banget…!!”.
Penggambaran yang begitu gamblang dari pertanyaan sulit yang selama ini ada di otakku. “Ketidakbahagiaan”, “Kebimbangan”, “Ketidak jelasan”!
Ceritakan padaku apa yang kamu rasakan selama ini!
Aku hanya ingin mendapatkan moment-moment yang dulu menjadi keseharian kita, aku hanya ingin merasakan kembali keakraban yang sempat menjadi mainan kita sehari-hari. Haruskah aku mencurinya darimu? Mencurinya dari lubuk hatimu yang sudah tertinggal di stasiun tua? Ditinggalkan dan dilupakan!
Ingin kulayangkan surat otakku ini untuk dibacakan didepan mu! Menggantikan ribuan menit kekakuan dan jutaan senyap yang sekarang malah lebih merajai hari kita. Tapi kemudian aku tersadar, Pak Posnya sudah pensiun!! Teknologi yang diciptakan orang2 botak dan jenius itu pun tidak mampu lagi menerjemahkan isi surat otakku ini.
Tentang Perasaan Baru
Hmm… satu bab kumajukan sebentar saja untuk menyisipkan satu cerita dari sekian ribu cerita yang ingin ku katakan. Tamu lama yang tidak diharapkan tapi diimpikan telah datang dan bertamu beberapa minggu yang lalu. Tamu itu bernama: “Rindu” atau mungkin ada yang mengatakan “Kangen”!! Ia datang bersama teman dekatnya yang sudah lama tidak kulihat berlalu lalang di sebagian kecil sudut hatiku, ia adalah: ‘Suka’.
Sepertinya aku harus dimasukkan ke panti rehabilitasi hati! Kecanduan! Candu akan rasa yang sudah lama hilang dari kamus yang diterbitkan oleh diriku sendiri. Kamus yang sudah lama ditarik dari peredaran!
“Tiketnya di retour aja!”
Salah satu kalimat yang menyatakan aku menggagalkan rencana untuk memuaskan tamuku, “Rindu”. Kadang aku berkhayal bahwa aku akan menemukan sosok yang membuatku “Rindu” dan melimpahkan semua desakan sayang yang selama ini terpendam jauh. Tapi sekali lagi, otakku dipaksa untuk berfikir, tidakkah itu hanya akan menjadikan dia pelarian dari semua kepenatan hati dan kejemuan hari? Akankah perasaan itu bertahan lebih lama lagi tanpa menghasilkan sedikitpun goresan? Haruskah aku bergerak maju atau berlari mundur? Akankah aku jatuh dan bangun lagi tanpa menitikkan air mata atau jatuh dan tetap terduduk dibawah tanpa ada usaha apapun?
Seribu pertanyaan dengan sejuta kemungkinan jawaban sedang terkekeh-kekeh tertawa mengejek. Seperti penjahat di film-film 70’an. Gendut, brewokan dan jahat!!
Ada rasa berat karena tiket itu aku retour hari ini, uang kembali tapi dipotong administrasi (huh! Kebiasaan orang Indonesia!). Tapi apakah karena nominal yang harus aku korbankan yang membuat aku berat??? Bukan, sama sekali bukan!! Nominal itu tidak ada artinya dengan apa yang aku bisa dapat kalau tidak ku kembalikan tiket itu kepada empunya Tour & Travel itu!!
Tapi…. Ah ada berapa kali ‘tapi’ yang diciptakan oleh dunia ini untuk ku pakai dan ku tunjukkan kepada sosok itu? Kepada tamu “Rindu”ku itu??
Berat sekali kata-kataku hari ini, sepertinya otakku lelah dan menuntut untuk diistirahatkan! Kucium dengan lembut tamuku “Rindu” malam ini. “Selamat tidur sayang! Aku “Rindu” kamu hari ini!”.
Duduk diam, hanya ditemani secangkir kopi dan sebuah buku di pinggir jendela lantai 4, aku termenung. Hujan dan lalu lalang pelayan pun tidak bisa mengganggu soreku hari itu. Mencoba menggali lagi beberapa lembar cerita lama dalam buku kehidupanku beberapa bab kebelakang. Seribu bayangan mecoba mendesak keluar meminta giliran untuk ditampilkan di secuil projector ingatan yang muncul hari itu.
Dulu, ditempat itu, pertama kalinya kita berbicara panjang dan penuh arti. Pembicaraan yang jika ditimbang dengan timbangan perasaan dan timbangan hati, sepertinya bisa dijual mahal. Beberapa hari sebelum hari itu, kembali aku melewati tempat dimana biasanya kita bertukar isi otak, isi hati dan isi jiwa. Kadang pembicaraan kita seperti snack murahan yang dijual di warung-warung kecil, ringan dan, yah…murah! Tapi kadang pembicaraan itu berlanjut menuju topic yang hanya di bicarakan oleh pembesar-pembesar negara, berat dan memusingkan!
Betapa aku ingin menarik dan meletakkan semua kenangan itu kembali ke awal halaman penulisan otak dan hatiku sekarang. Tetapi sepertinya hatimu berat sekali sekarang, tidak lagi bisa menampung ceritaku meskipun hanya sepersejuta persen dari beban otakmu.
“Jangan berharap banyak sama gue!”
Kata-kata itu terus yang keluar dari sudut bibirmu. Harapan apakah yang selama ini kamu larang untuk kuterbitkan? Harapan seperti apakah yang dinyatakan forbidden untuk dilewati? Harapan seperti apakah yang harus disuntik mati seperti pesakitan? Coba terangkan semua dalam silabus kita hari ini!
Harapan adalah bagian dari hidup, tanpa harapan, kehidupan sama artinya seperti zombie yang berjalan tanpa nyawa. Harapan bisa mewujudkan kenyataan, walau kadang kenyataan menghambat harapan (hmm….sepertinya kudapatkan kata2 ini dari seseorang!). Aku mengharapkan hari ini bisa makan ice cream coklat kesukaanku, tapi kenyataannya aku tak cukup mampu untuk membelinya. Dengan harapan, aku pasti akan berusaha untuk mewujudkan harapanku yang sepertinya lezat itu!, kenyataannya, harapanku sedikit terhambat, tapi aku harus berusaha karena harapan-harapan itu terus terngiang di kepalaku. Walau akhirnya aku tidak bisa mewujudkan harapanku itu, apakah aku kemudian menjadi hancur? Kecewa mungkin iya, tetapi sebelum aku berharap, aku sudah memanjatkan doa, bahwa resiko yang akan kuhadapi dengan menciptakan harapan itu tidak akan terlalu menyakitkan.
Kesadaran akan resiko, kesadaran akan adanya hambatan, kesadaran akan adanya jatuh dan bangun, membuatku berani untuk berharap.
Jangan hambat harapanku padamu. Jangan matikan semua dan jangan jauhkan itu dariku. Karena hanya itu yang kupunya sekarang darimu.
Dulu, hatimu selalu lembut, layaknya seorang sahabat yang merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambut dan memelukku dengan lembut dan dengan cinta. Sekarang, hatimu tertutup oleh sepuluh kali lipat tinggi tembok cina yang terbentang,
Ingin rasanya kupanggilkan cenayang untuk membangkitkan rasa yang sudah mati dan hilang dari hatimu.
Duduk termenung, menikmati turunnya hujan dari langit, menciptakan kembali percikan-percikan kenangan yang sudah lama kusimpan.
Sempat kubaca habis buku yang berjudul: “Subject: Re”, ingin rasanya kuteriakkan dan kuceritakan kembali padamu: “Ceritanya GUE banget…!!”.
Penggambaran yang begitu gamblang dari pertanyaan sulit yang selama ini ada di otakku. “Ketidakbahagiaan”, “Kebimbangan”, “Ketidak jelasan”!
Ceritakan padaku apa yang kamu rasakan selama ini!
Aku hanya ingin mendapatkan moment-moment yang dulu menjadi keseharian kita, aku hanya ingin merasakan kembali keakraban yang sempat menjadi mainan kita sehari-hari. Haruskah aku mencurinya darimu? Mencurinya dari lubuk hatimu yang sudah tertinggal di stasiun tua? Ditinggalkan dan dilupakan!
Ingin kulayangkan surat otakku ini untuk dibacakan didepan mu! Menggantikan ribuan menit kekakuan dan jutaan senyap yang sekarang malah lebih merajai hari kita. Tapi kemudian aku tersadar, Pak Posnya sudah pensiun!! Teknologi yang diciptakan orang2 botak dan jenius itu pun tidak mampu lagi menerjemahkan isi surat otakku ini.
Tentang Perasaan Baru
Hmm… satu bab kumajukan sebentar saja untuk menyisipkan satu cerita dari sekian ribu cerita yang ingin ku katakan. Tamu lama yang tidak diharapkan tapi diimpikan telah datang dan bertamu beberapa minggu yang lalu. Tamu itu bernama: “Rindu” atau mungkin ada yang mengatakan “Kangen”!! Ia datang bersama teman dekatnya yang sudah lama tidak kulihat berlalu lalang di sebagian kecil sudut hatiku, ia adalah: ‘Suka’.
Sepertinya aku harus dimasukkan ke panti rehabilitasi hati! Kecanduan! Candu akan rasa yang sudah lama hilang dari kamus yang diterbitkan oleh diriku sendiri. Kamus yang sudah lama ditarik dari peredaran!
“Tiketnya di retour aja!”
Salah satu kalimat yang menyatakan aku menggagalkan rencana untuk memuaskan tamuku, “Rindu”. Kadang aku berkhayal bahwa aku akan menemukan sosok yang membuatku “Rindu” dan melimpahkan semua desakan sayang yang selama ini terpendam jauh. Tapi sekali lagi, otakku dipaksa untuk berfikir, tidakkah itu hanya akan menjadikan dia pelarian dari semua kepenatan hati dan kejemuan hari? Akankah perasaan itu bertahan lebih lama lagi tanpa menghasilkan sedikitpun goresan? Haruskah aku bergerak maju atau berlari mundur? Akankah aku jatuh dan bangun lagi tanpa menitikkan air mata atau jatuh dan tetap terduduk dibawah tanpa ada usaha apapun?
Seribu pertanyaan dengan sejuta kemungkinan jawaban sedang terkekeh-kekeh tertawa mengejek. Seperti penjahat di film-film 70’an. Gendut, brewokan dan jahat!!
Ada rasa berat karena tiket itu aku retour hari ini, uang kembali tapi dipotong administrasi (huh! Kebiasaan orang Indonesia!). Tapi apakah karena nominal yang harus aku korbankan yang membuat aku berat??? Bukan, sama sekali bukan!! Nominal itu tidak ada artinya dengan apa yang aku bisa dapat kalau tidak ku kembalikan tiket itu kepada empunya Tour & Travel itu!!
Tapi…. Ah ada berapa kali ‘tapi’ yang diciptakan oleh dunia ini untuk ku pakai dan ku tunjukkan kepada sosok itu? Kepada tamu “Rindu”ku itu??
Berat sekali kata-kataku hari ini, sepertinya otakku lelah dan menuntut untuk diistirahatkan! Kucium dengan lembut tamuku “Rindu” malam ini. “Selamat tidur sayang! Aku “Rindu” kamu hari ini!”.