Me and The Rest of My Day

Monday, September 20, 2004

Melompat dari gedung bertingkat 30 rasanya kurang menyakitkan untuk menggambarkan perasaan yang menginap berhari-hari diperasaanku yang kian mengecil tiap hari karena terpaan kejadian yang mewarnai satu demi satu hari hidupku.

Melepaskan semua yang sudah membentuk hatiku sedemikian rupa seperti merubah undang-undang dasar oleh orang gila.

“I might not mean everything to you, but I could be everything for you”
Mungkin keberadaanku tidak ada artinya sedikitpun, tetapi aku yakin aku bisa menjadi apa saja untuk dirinya.

Bayanganku pun dianggapnya sebagai hiasan dibelakang cahaya lampu. Listrik terputus, matilah semua yang kubanggakan dan yang kurasakan.

Tidak ada satu kamus pun yang bisa menerjemahkan artinya perasaanku selama ini, dan kemarin. Tidak juga ahli bahasa canggih yang disewa Negara adikuasa sekalipun. Membingungkan dan membuatku melayangkan pikiran kenegara antah berantah tiap kali siluet bayangan tubuhnya melintas, mengucapkan ‘permisi…’ didepan otakku, bahkan kadang bayangan itu melintas seperti maling yang tidak mengucapkan permisi…

Ia mungkin akan ditahan sampai detik akhir dunia ini, tapi tetap rasa itu ada dan makin kuat. Menunggu perasaan itu menghilang seperti menunggu gunung es yang dicairkan oleh sebatang korek api. Dibutuhkan beribu-ribu batang untuk dapat meruntuhkan gunung itu.

Tiap kali rasa tertusuk itu datang dan mendera hatiku, tiap kali pula aku ingin pergi dan meninggalkannya tanpa jejak, tanpa kesan dan tanpa suara.. Tetapi sulit, tiap kali aku pergi, aku akan selalu berputar-putar ditempat yang sama sampai bosan!

Dengkul ini mau copot rasanya karena berkali2 aku terjatuh, atau terjerembab ke aspal keras. Kucoba untuk bangun dan berdiri lagi tiap kali dengkul ini beradu keras dengan bumi.

Menjadi kuat itu tidak mudah, menjadi tegar itu sangat sulit.

2 Comments:

Post a Comment

<< Home